Kerusakan Benteng Putri Hijau di
Sumatera Utara belakangan ini membawa kembali ingatan tentang bagaimana sepak
terjang Kerajaan Aru di masa silam. Tak hanya ingatan bahwa kerajaan ini
membawa perjumpaan kisah antara Karo, Melayu, dan Aceh, tetapi juga mengenai
siapa ahli waris kerajaan besar itu.
Benteng Putri Hijau merupakan
peninggalan dari Kerajaan Aru yang ditemukan di Kecamatan Namorambe, Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara. Ia mengalami kerusakan akibat adanya pembangunan
perumahan yang dilakukan oleh pengembang swasta. Meski berada di Deli Tua,
kerajaan ini semula berdiri di Besitang, yang kini berada di Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara, dan mulai disebut namanya pada sekitar abad 13.
Saat ini belum ada mufakat mengenai
siapa Kerajaan Aru itu. Masyarakat Karo, misalnya, menyebutkan bahwa Aru
merupakan Haru yang berasal dari kata “Karo”. Karena itu, masyarakat Aru
merupakan masyarakat Karo yang didirikan oleh klan Kembaren. Dalam “Pustaka
Kembaren” (1927), marga Kembaren disebut berasal dari Pagaruyung di Tanah
Minangkabau.
Orang Karo ini, menurut Majalah Inside
Sumatera (November 2008), tak mau disamakan dengan marga Karo yang
sekarang, yang disebut sebagai Karo-Karo (bukan asli). Orang Karo-Karo, seperti
Tarigan, Sembiring, Perangin-angin, Sitepu, dan Ginting, baru turun ke Deli
pada awal abad ke-17.
Sejumlah sumber lain juga
menyebutkan bahwa Kerajaan Aru merupakan kerajaan Melayu yang amat besar pada
zamannya. Akan tetapi, Daniel Perret dalam buku “Kolonialisme dan Etnisitas”
(2010), yang merujuk pada R. Djajadiningrat dalam buku “Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek”
(1934), mengatakan bahwa dalam bahasa Aceh “Haro” atau “Karu” berarti suasana
bergejolak dan rusuh di sebuah wilayah.
Betapapun identitas Kerajaan Aru
belum terkuak penuh, Tengku Luckman Sinar dalam buku “Sari Sejarah Serdang”
(edisi pertama, 1971) mencatat bahwa nama Aru muncul pertama kali pada 1282
dalam catatan Tionghoa pada masa kepemimpinan Kublai Khan. Dan menurut Perret,
nama Aru kembali muncul pada 1413 dalam catatan Tionghoa dengan nama “A-lu”
sebagai penghasil kemenyan. Pada 1436, sumber Tionghoa lain kembali menyebutkan
bahwa “A-lu” memiliki beras, kamper, rempah-rempah, dan pedagang-pedagang
Tionghoa sudah berdagang emas, perak, dan benda-benda dari besi, keramik, dan
tembaga di Tan-Chiang (Tamiang).
Secara wilayah, kekuasaan Kerajaan
Aru memang cukup luas. Ia terbentang dari Sungai Tamiang, Aceh kini, hingga
Sungai Rokan, Riau kini. Jelasnya, ia meliputi sepanjang pesisir Sumatera
Timur. Posisinya yang menghadap ke Selat Melaka membuat kerajaan ini memainkan
peranan penting dalam perniagaan dan aktivitas maritim. Selat Melaka merupakan
jalur perdagangan laut yang amat aktif dalam periode yang begitu panjang, yakni
mulai abad permulaan masehi hingga abad 19.
Bahkan, Perret menyebutkan bahwa
dalam hal tempat perdagangan, Aru merupakan negara yang setara dengan Kerajaan
Melaka semasa dipimpin oleh Sultan Mansyur Shah yang berkuasa dari 1456 sampai
1477. Di awal abad 15, Aru dan China juga disebut pernah saling melakukan
kunjungan. Posisinya yang strategis membuat Kerajaan Aru menjadi pentas politik
pun perdagangan bagi negara-negara lain.
Kerajaan Aru juga dikatakan kerap
berkonflik dengan Kerajaan Pasai (Aceh). Pada awal abad 16, Aru menyerbu Pasai
dan membantai banyak sekali orang di sana. Namun, serangan itu dibalas oleh
Pasai. Melalui serangan berkali-kali, Aceh berhasil menjebol pertahanan
Kerajaan Aru hingga rontok.
Para petinggi Kerajaan Aru lalu
melarikan diri ke Deli Tua dan memindahkan pusat kekuasaan baru di sana. Akan
tetapi, meski sudah berpindah tempat, Kerajaan Aceh masih terus merangsek
Kerajaan Aru II itu. Motif penyerangan Kerajaan Aceh kali ini diketahui karena
keinginan rajanya untuk menikahi Ratu Aru II, yang dikenal sebagai Putri Hijau.
Dari beberapa sumber, tertulis bahwa
Raja Kerajaan Aceh mengirimkan surat yang berisi tiga hal kepada Putri Hijau.
Pertama, meminta Putri Hijau bersedia menjadi permaisuri Raja Aceh. Kedua, Aceh
adalah Serambi Mekkah dan Aru adalah Serambi Aceh. Karena itu Aru diminta
tunduk kepada Aceh. Dan ketiga, Aceh akan menyebarkan agama Islam di Aru.
Dalam catatan Karo dari Biak Ersada
Ginting yang banyak dikutip oleh berbagai sumber, Putri Hijau, yang saat itu
bertuhankan Dibata Si Mila Jadi – yang bermakna Tuhan yang maha pertama, paling
akhir, dan hanya Dia yang tetap hidup – menolak mentah-mentah lamaran Raja
Aceh.
Akan tetapi, berbeda dengan Biak
Ersada Ginting, Perret mengatakan bahwa, sembari merujuk pada penulis Perancis
F. Mendes Pinto dalam buku “chez Cotinet et Roger” (1645), masyarakat Aru dan
rajanya adalah muslim. Dan dalam kutipan dari “Hikayat Melayu” dan “Hikayat
Raja-raja Pasai”, Kerajaan Aru atau Haru disebut sudah menganut Islam pada
pertengahan abad 13; lebih dahulu ketimbang Aceh dan Malaka.
Merasa terhina, penolakan dari Putri
Hijau kemudian berbuntut pada pecahnya kembali perang besar antara Kerajaan
Aceh dengan Kerajaan Aru II. Masih di abad 16 itu, setelah berkali-kali
melakukan serangan, Kerajaan Aceh yang disebut-sebut didukung oleh sejumlah
pasukan dari Turki kembali berhasil mengalahkan Kerajaan Aru II. Kerajaan Aru
II tak hanya roboh, tetapi hancur dan musnah.
Dari puing Kerajaan Aru II inilah
berdiri Kerajaan Deli. Panglima Gocah Pahlawan (asal India) dari Kerajaan Aceh
kelak menjadi Sultan Kerajaan Deli pertama yang berkuasa pada 1632-1653.
Langkat
Meski digempur hebat, menurut Zainal Arifin dalam buku “Subuh Kelabu di Bukit Kubu” (2002) yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Langkat, petinggi Aru yang baru itu tak turut tewas. Ia melarikan diri ke Kota Rentang Hamparan Perak, Deli Serdang kini (Sumatera Utara), dan mendirikan kerajaan baru dengan rajanya yang bernama Dewa Syahdan (1500-1580). Kerajaan inilah yang kemudian melahirkan Kerajaan Langkat.
Meski digempur hebat, menurut Zainal Arifin dalam buku “Subuh Kelabu di Bukit Kubu” (2002) yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Langkat, petinggi Aru yang baru itu tak turut tewas. Ia melarikan diri ke Kota Rentang Hamparan Perak, Deli Serdang kini (Sumatera Utara), dan mendirikan kerajaan baru dengan rajanya yang bernama Dewa Syahdan (1500-1580). Kerajaan inilah yang kemudian melahirkan Kerajaan Langkat.
Langkat berasal dari nama sebuah
pohon yang menyerupai pohon langsat. Pohon langkat memiliki buah yang lebih
besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya disebut-sebut
pahit dan kelat. Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat,
yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura. Hanya
saja, pohon itu kini sudah punah.
Selain itu, yang menarik adalah
pengakuan dari para tetua Langkat, hingga kini, yang menganggap dirinya adalah
keturunan marga Perangin-angin. Utamanya yang berasal dari Bahorok maupun
Tanjung Pura. Padahal, jika dilihat dari pandangan orang Karo semula ihwal
Kerajaan Aru, tentu ini menjadi membingungkan.
Di masa Kerajaan Langkat, para
keturunan pembesar Aru yang masih berada di Besitang, Aru I, kembali membangun
reruntuhan kerajaan yang sudah luluh lantak. Kawasan Besitang kemudian menjadi
kejuruan yang berada dalam lingkup Kerajaan Langkat. Kejuruan ini memiliki
kawasan sampai ke Salahaji, desa di Kecamatan Pematang Jaya kini (Kabupaten
Langkat). Sedangkan Kerajaan Langkat sendiri meluaskan wilayahnya sampai ke
Tamiang, Kabupaten Aceh Tamiang kini (Aceh), dan Seruai, Deli Serdang kini.
Besitang kemudian dikenal sangat
setia pada Kerajaan Langkat. Ia kerap menjadi palang pintu bagi pihak lain yang
ingin melakukan penyerbuan kepada Kerajaan Langkat, seperti serangan dari Gayo
dan Alas.
Setelah Dewa Syahdan wafat, Kerajaan
Langkat kemudian dipimpin oleh anaknya, Dewa Sakti, yang memerintah dari 1580
takat 1612. Pada 1612, Dewa Sakti yang bergelar Kejuruan Hitam ini dikabarkan
hilang (tewas) dalam penyerangan yang kembali dilakukan oleh Kerajaan Aceh.
Terombo Langkat, dimulai dari Dewa
Syahdan.
Sejumlah referensi menyebutkan bahwa
sesudah Dewa Sakti, Kerajaan Langkat dipimpin oleh anaknya yang bernama Sultan
Abdullah (1612-1673). Akan tetapi, dalam sebuah terombo, tak ditemukan nama
Sultan Abdullah sebagai anak Dewa Sakti. Terombo tersebut menampilkan bahwa
anak dari Dewa Sakti adalah T. Tan Djabar dan T. Tan Husin. Dan dari Tan Husin,
generasinya adalah T. Djalaluddin yang disebut juga Datuk Leka (Terusan), T.
Bandarsjah, T. Oelak, dan T. Gaharu.
Sultan Abdullah yang banyak disebut
dalam literatur kemudian wafat dan dimakamkan di Buluh Cina Hamparan Perak
dengan gelar Marhum Guri. Selanjutnya, tahta Kerajaan Langkat jatuh pada anak
Sultan Abdullah, yakni Raja Kahar (1673-1750). Di zaman Raja Kahar, pusat
Kerajaan Langkat dipindahkan dari Kota Rentang Hamparan Perak ke Kota Dalam
Secanggang.
Tak hanya itu, Raja Kahar juga
melakukan banyak perubahan, baik dalam manajemen negara maupun kepemimpinan.
Perubahan itu, menurut Zainal Arifin, membuat sejumlah kalangan lantas
menetapkan bahwa ialah pendiri Kerajaan Langkat pada 17 Januari 1750.
Raja Kahar memiliki tiga orang anak,
yakni Badiulzaman (1750-1814) yang bergelar Sutan Bendahara, Sutan Husin, dan
Dewi Tahrul. Setelah Raja Kahar wafat, Badiulzaman menjadi Raja Kerajaan
Langkat dan Sutan Husin menjadi raja di Bahorok. Di masa Sutan Bendahara,
wilayah Kerajaan Langkat meluas. Saat wafat, ia dimakamkan di Pungai dan diberi
gelar Marhom Kaca.
Selanjutnya, tahta Kerajaan Langkat
diserahkan kepada anak tertua Badiulzaman, Tuah Hitam, yang memerintah sejak
1815 takat 1823. Oleh Tuah Hitam, Istana Kerajaan Langkat dipindahkan ke
Jentera Malai yang tak jauh dari Kota Dalam. Sementara itu, adik Tuah Hitam,
Raja Wan Jabar menjadi raja di Selesai, dan adik ketiga, Syahban, menjadi raja
di Pungai. Sedangkan si bungsu, Indra Bongsu, tetap tinggal bersama Tuah Hitam.
Di masa kepemimpinan Tuah Hitam,
serangan terhadap Kerajaan Langkat kini berasal dari Kerajaan Belanda dan
Kerajaan Siak Sri Inderapura. Pada awal abad ke-19, serangan bertubi-tubi
Kerajaan Siak Sri Inderapura membuat Kerajaan Langkat takluk.
Pada 1823, dalam catatan Zainal
Arifin, pasukan Tuah Hitam bergabung dengan Sultan Panglima Mengedar Alam dari
Kerajaan Deli. Tujuannya untuk merebut kembali Kerajaan Langkat dari Kerajaan
Siak Sri Inderapura dan Belanda. Tetapi, dalam perjalanan kembali dari Deli,
Tuah Hitam tewas.
Sementara itu, Kerajaan Siak Sri
Inderapura membuat gerakan untuk menjamin kesetiaan Kerajaan Langkat, yakni
dengan mengambil anak Tuah Hitam, Nobatsyah, dan anak Indra Bongsu, Raja Ahmad.
Keduanya dibawa ke Kerajaan Siak Sri Inderapura untuk diindoktrinasi dan
dikawinkan dengan putri-putri Siak. Nobatsyah kawin dengan Tengku Fatimah dan
Raja Ahmad kawin dengan Tengku Kanah.
Setelah itu, keduanya dipulangkan
kembali dan menjadi raja ganda di Kerajaan Langkat. Nobatsyah diberi gelar Raja
Bendahara Kejuruan Jepura Bilad Jentera Malai dan Raja Ahmad bergelar Kejuruan
Muda Wallah Jepura Bilad Langkat.
Seperti sudah diperkirakan,
kepemimpinan ganda Nobatsyah dan Raja Ahmad menuai pertikaian. Sengketa
kekuasaan berujung pada tewasnya Nobatsyah di tangan Raja Ahmad. Selanjutnya,
Raja Ahmad menjadi Raja Kerajaan Langkat antara 1824 takat 1870. Di zaman Raja
Ahmad, pusat Kerajaan Langkat dipindahkan ke Gebang, yakni di sekitar Desa Air
Tawar kini.
Pada 1870, Raja Ahmad tewas karena
diracun. Dan anaknya, Tengku Musa atau Tengku Ngah, naik menjadi raja. Di masa
Tengku Musa inilah Kerajaan Langkat banyak mendapat tekanan, baik dari Aceh
maupun negeri-negeri yang berada di dalam Kerajaan Langkat sendiri.
Pada pertengahan abad 19, menurut
situs www.acehpedia.org, Kerajaan Aceh menggalang kekuatan dari negara-negara
di Sumatera Timur untuk menghadang laju gerakan Belanda bersama
pembesar-pembesar Siak. Di masa ini, negara-negara di Sumatera Timur, seperti
Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang (yang merupakan pecahan dari Deli), dan
Kerajaan asahan menyambut baik ajakan Kerajaan Aceh untuk memerangi Belanda.
Bahkan ada yang mengibarkan bendera Inggris sebagai simbol perlawanan.
Akan tetapi, hanya Kerajaan
Langkatlah yang menolak seruan perang sabil itu, meski Kejuruan Bahorok
mengobarkan api pada rakyat untuk berperang dengan Belanda. Bahkan Sultan Musa
meminta bantuan Belanda-Siak untuk menghantam Kejuruan Stabat karena
bekerjasama dengan Kerajaan Aceh.
Saat Kerajaan Langkat menuai
kontroversi, Kejuruan Besitang tetap menampilan kesetiaannya. Dalam catatan
Zainal Arifin, ketika Tengku Musa banyak mendapat serangan, termasuk dari Raja
Stabat, Bahorok, dan Bingai, Besitang tetap menjadi perisai bagi Kerajaan
Langkat. Meski demikian, ada juga sejumlah petinggi Besitang yang
mengorganisasikan rakyat untuk menentang Belanda, walau kemudian diredam.
Tengku Musa atau Sultan Musa
memiliki tiga orang anak, yakni Tengku Sulong yang menjabat Pangeran Langkat
Hulu, Tengku Hamzah yang menjabat Pangeran Langkat Hilir, dan Tengku Abdul
Aziz. Dalam tradisi kerajaan, anak tertua adalah pewaris tahta. Namun, Sultan
Musa tak melakukan itu.
Pada 1896, ia memberikan tahtanya
pada si bungsu, Tengku Abdul Aziz, meski belum dilantik karena alasan usia yang
terlalu muda. Penyebab tindakan Sultan Musa tak lain karena ia terikat janji
dengan dengan istrinya, Tengku Maslurah, yang merupakan permaisuri Raja Bingai.
Perkawinan Musa dan Maslurah memang
perkawinan politik. Setelah Langkat menggempur Bangai, maka sang permaisuri
diambil oleh sang pemenang, sebagaimana yang terjadi pada zaman raja-raja. Akan
tetapi, Maslurah tetap meminta syarat, yakni anak dari perkawinannya dengan
Sultan Musa kelak haruslah menjadi Raja Langkat.
Tindakan Sultan Musa melahirkan protes dari anak-anaknya yang lain, terutama Tengku Hamzah. Sempat terjadi upaya kup, namun tak berhasil. Tengku Hamzah lalu memisahkan diri dari Istana Kerajaan Langkat, Darul Aman, dan membangun istananya sendiri di Kota Pati. Karena posisinya yang berada di tanjung atau persimpangan, maka Tengku Hamzah juga dikenal sebagai Pangeran Tanjung. Dan tak jauh dari istana, ada sebuah pura atau pintu gerbang tempat para anak raja mandi di sungai. Alhasil, nama kawasan itu kemudian disebut Tanjung Pura.
Tengku Hamzah kemudian memiliki seorang putra bernama Tengku Pangeran Adil. Pangeran Adil dikenal pemberani dan sangat membenci Belanda. Beberapa kali ia terlibat perkelahian dengan orang-orang dari Eropa itu. Dan dari Pangeran Adillah lahir anak bernama Tengku Amir Hamzah, seorang penyair besar yang kelak turut menggelorakan gerakan anti kolonialisme melalui gagasan Indonesia.
Pada 1896, Tengku Abdul Aziz pun dilantik menjadi Sultan Langkat. Sebelum dilantik, ditemukan pula sumber minyak di Telaga Said Securai pada 1869. Minyak ini lantas dieksplorasi pada 1883 melalui kerjasama dengan Maskapai Perminyakan Belanda ketika itu, yang juga menjadi embrio munculnya Pertamina kelak, yakni De Koninklijke (De Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exloitatie van Petroleum bronnen in Nederlandsche-Indie). Minyak di Pangkalan Brandan ini, yang ditambah dengan perkebunan, kian menambah Langkat sebagai negara paling kaya di Sumatera Timur.
Usai Abdul Aziz, tahta Kerajaan Langkat kemudian turun kepada anaknya, Tengku Mahmud, yang bergelar Sultan Mahmud Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah. Seperti kebiasaan sebelumnya, Tengku Mahmud memindahkan lagi pusat Kerajaan atau Kesultanan Langkat ke Binjai dan mendirikan istana baru di sana.
Di masa Sultan Mahmud, tepatnya kala Kerajaan Jepang masuk dan membuat Kerajaan Belanda tersungkur, sejumlah catatan menunjukkan penderitaan rakyat. Rakyat diperas dan diperbudak untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang. Di sini tak ditemukan bagaimana relasi, kontestasi, dan peta politik Langkat dengan negara-negara tetangga.
Yang tercatat, sebagaimana ditulis oleh Zainal Arifin, adalah perlawanan yang dilakukan negeri Besitang yang dipimpin oleh Wakil Kepala Negeri Besitang, OK. M. Nurdin yang bergelar Datuk Setia Bakti Besitang. Datuk Besitang ini semula adalah Datuk Panglima Sultan Langkat. Ia ditarik ke dalam istana oleh Sultan Mahmud demi meredam kemarahan Belanda karena tindakan-tindakan sang datuk yang kerap menantang Belanda.
Saat Belanda hengkang, Nurdin pun dikembalikan lagi ke Besitang. Dan disitulah ia melakukan konsolidasi untuk melawan Jepang. Kejadian yang terkenal adalah di saat ia dan pasukannya menyerang markas Jepang yang berada di Stasiun Kereta Api Besitang pada 15 Desember 1945. Penyerangan itu berhasil. Enam tentara Jepang tewas dan sisanya melarikan diri ke Pangkalan Berandan. Senjata-senjata Jepang dilucuti.
Namun, pada malam itu juga, dini hari, Jepang membalas. Seorang diri Nurdin tersergap pasukan Jepang yang menaiki beberapa truk militer. Mungkin karena merasa tak ada jalan mundur, Nurdin, yang ketika itu berusia 75 tahun, melawan. Ia diceritakan sempat membunuh puluhan serdadu Jepang sebelum akhirnya tewas mengenaskan. Jenazahnya dibuang ke dalam sungai.
Sebelum Jepang masuk, Sultan Mahmud mencoba menyatukan kembali kekuatan Kerajaan Langkat. Diantara yang ia lakukan adalah menikahkan cucu Tengku Hamzah yang juga anak Tengku Pangeran Adil, Tengku Amir Hamzah, dengan anaknya sendiri, Tengku Kamaliah. Saat itu, Amir Hamzah disebut sudah memiliki kekasih seorang Jawa. Sedangkan adik perempuan Sultan Mahmud dinikahkah dengan putra mahkota Kesultanan Selangor, Malaysia kini, yakni Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah Alhaj Ibni Sultan Hasanuddin Alam Syah.
Amir Hamzah kala itu sedang berada di Jawa dan Jakarta untuk bersekolah sembari melakukan gerakan-gerakan melawan kolonialisme dan sedang bergulat dengan gagasan keindonesiaan. Karena panggilan Sultan, pada 1937 ia pun pulang. Ia diberi jabatan Raja Muda atau Pangeran dengan wilayah tugas Langkat Hilir yang berkedudukan di Tanjung Pura dan berkantor di Balai Kerapatan, gedung Museum Kabupaten Langkat kini.
Setelah itu, sejumlah jabatan dibebankan pada Amir Hamzah. Ia memimpin Teluk Haru di Pangkalan Brandan, kemudian ditarik ke Istana sebagai Bendahara Paduka Raja di Binjai, lalu memimpin Langkat Hulu, juga di Binjai. Pada masa Jepang, ia juga menjadi Ketua Pengadilan Kerapatan Kerajaan Langkat.
Sewaktu Soekarno-Hatta menyatakan proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, kabar itu belum sampai ke Kerajaan Langkat. Tapi tak lama kemudian, suasana mulai memanas. Laskar-laskar terbentuk. Dan pada 5 Oktober 1945, Sultan Mahmud kemudian menyatakan penggabungan negaranya dengan negara Republik Indonesia.
Pada 29 Oktober 1945, Tengku Amir Hamzah diangkat menjadi Asisten Residen (Bupati) Langkat dan berkedudukan di Binjai oleh Gubernur Sumatera, Mr. TM. Hasan.
Pada masa itu, Kerajaan Langkat seperti ibu yang hamil tua. Seperti akan ada yang terjadi. Di satu sisi, Langkat adalah negara yang punya hubungan dengan Kerajaan Belanda. Tapi di sisi lain, laskar-laskar yang mulai bermunculan amat membenci Belanda. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa laskar-laskar itu adalah buruh-buruh pendatang, yang diorganisasikan oleh kaum komunis di Jawa, yang tak senang pada kerajaan.
Gesekan dan perang dingin antara Kerajaan Langkat dengan laskar-laskar terus terjadi. Di sini, sosok Amir Hamzah adalah simbol terbaik mengenai terjepitnya batin manusia Langkat diantara dua identitas. “… Tenggelam dalam malam/ Air di atas menindih keras/ Bumi di bawah menolak ke atas” adalah salah satu bait dari puisi Amir, “Hanyut Aku”, yang dapat dibaca dalam konteks ini.
Meski demikian, Amir menegaskan pernyataan yang amat terkenal:
“Lari dari Binjai patik pantang. Patik adalah keturunan Panglima, kalah di gelanggang sudah biasa. Dari dahulu patik merasa tiada bersalah kepada siapa. Jadi salah besar dan tidak handalan, kalau patik melarikan diri ke kamp NICA di Medan. Sejak Sumpah Pemuda, patik ingin merdeka.”
Namun ketegangan memuncak pada 3 Maret 1946. Sore itu, Amir Hamzah beserta seluruh pembesar kerajaan diculik. Amir dibawa ke berbagai tempat untuk kemudian dipancung oleh Mandor Yang Wijaya, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Kerajaan Langkat. Akan tetapi, Sultan Mahmud tak turut dibunuh. Ia ditangkap dan diasingkan hingga kemudian wafat karena sakit.
Penculikan dan pembunuhan para pimpinan negara ini membuat suasana mencekam. Revolusi sosial merebak. Ribuan orang eksodus ke berbagai tempat, secara sendiri-sendiri, per keluarga, maupun rombongan. Ada yang ke Kutacane (Aceh), Lau Sigala-gala (Tanah Karo, Kabupaten Aceh Tenggara kini), Medan (Sumatera Utara kini), atau ke tempat-tempat yang dekat, seperti Bahorok.
Tak lama kemudian, 30 Juli 1947, dua buah istana di Tanjung Pura dan satu buah istana di Binjai dihancurkan oleh massa. Istana-istana Kerajaan Langkat rata dengan tanah. Riwayat pun usai. Roboh bersimbah darah. Di pertengahan abad 20, ahli waris Kerajaan Aru itu tersungkur.
http://www.lenteratimur.com/aru-dahulu-langkat-kemudian/ dicopy pada Kamis, 24 Oktober 2013 Pukul 08.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar