Melupakan Sejarah=Menutup Gerbang Masa Depan

Sabtu, 01 Desember 2012

Kerajaan Majapahit


Turun naiknya Negara Majapahit sejak dari lahir sampai runtuhnya dengan Gajah Mada di puncak kebesaran
(1292-1365)

Kebesaran Gajah Mada dapat dilihat dari perbuatan yang dilakukan dengan segala kebijaksanaan dan dengan melihat hasil usahanya. Sejarah Gajah Mada adalah sejarah seluruh riwayat negara Majapahit. Jikalau hendak meninjau kebesarannya,dimulai dengan mempelajari bagaimana negara itu terbentuk pada mulanya, dan bagaimana negara itu sesudah menjadi besar dalam tangannya lalu  turun menghadapi keruntuhan.
Sejarah Majapahit dimulai pada tahun 1293, yaitu hampir dua tahun sesudah runtuhnya Kerajaan Singasari. Kerajaan ini adalah ibu negara Indonesia. Setelah 70 tahun lamanya berdiri (1222-1292), maka kerajaan Singasari yang pusatnya terletak disekeliling kota Malang sekarang ini lalu runtuh oleh serangan hebat dari pihak Kediri. Maka turunan raja pertama Rajasa (Ken-Arok , 1222-1227) sampai pada raja yang paling akhir (Kertanegara,1268-1292) habislah. Setelah dua tahun tanah Indonesia mengalami jaman Pancaroba (1292-1293) maka berhasillah seorang turunan raja membentuk negara baru, berkat bantuan beberapa pemimpin yang menumpukkan segala tenaga rakyat untuk menghilangkan malapetaka yang membahayai susunan tanah Indonesia.
Kerajaan Majapahit besar artinya dan pengaruhnya di tanah Indonesia. Pada suatu batu bersurat di desa Butak, “bahwa pada suatu hari raja Kertanegara diserang paduka Jayakatuang dari negari Gelang-gelang (Daha), maksudnya hendak merebahkan Kertanegara hingga singgasananya di negeri Tumapel. Setelah diketahui musuh datang, lalu dikirimlah Wijaya dan Ardaraja yang akan menggantikan Kertanegara pergi melawan, keduanya adalah menantu Kertanegara, tetapi Ardaraja adalah putra Jayakatuang.  Di kampung Kedung-Peluk kedua belah phak bertemu dan lalu berperang. Karena lawan kalah dan lari, lalu turut ke kampung Lembah Batang dan Kepulungan. Dimana-mana lawan tewas, tetapi di kampung Rabut Carat tiba-tiba datang lawan dari sebelah barat. Rupa-rupanya waktu itu seperti tiada lagi musuh, tetapi sekonyong-konyong kelihatan disebelah timur Hanyiru beberapa panji-panji musuh berwarna merah putih berkibar dan waktu itu Ardaraja cedera dan lari Kepulungan. Bala tentara menantu Kertanegara lalu kalah walaupun demikian dia tinggal setia. Setelah berapa lamanya bala  tentaranya makin berkurang-kurang, karena banyak yang lari dan dibunuh. Dimana-mana datang lawan, baik di Kulawan ataupun di Kembang sari,  sehingga akhirnya hanya 12 orang yang tinggal lagi. Letih payah sampailah wijaya ke negeri Kudadu, tempat ia ditolong oleh kepala kampung yan memerintah disana.Oleh sebab itu, kepala kampung Kudadu ini  di beri hadiah oleh raja. Adapun negeri-negeri yang tersebut di atas ini sudah banyak yang diketahui orang , semua letaknya di Pulau Jawa sebelah timur.
Lagi pula waktu itu diketahui orang, bahwa Wijaya dikejar musuh dari Kediri dan ditolong oleh kepala kampung Kudadu; sekarang lalu ia berlayar di pulau Madura. Disini waktu itu memerintah Wirajaya angkatan Kertanegara, dan anaknya menjadi pegawai bekerja pada Wijaya sebab itu tentu Wijaya diterima dengan sepatutnya dan dengan Wirajaya dibuat perjanjian akan membagi pulau Jawa menjadi dua bagian, masing-masing dapat sebagian. Wijaya mesti pergi ke Kediri tempat Jayakatuang bersemayam. Disana patutlah menundukkan diri dan kalau sudah menjadi kesayangan di dalam istana, patutlah ia meminta tanah terik, tempat orang Madura berumah tangga. Kesanalah Wijaya nanti akan pergi dengan izin raja Kediri, tetapi duduk disana itu semata-mata hendak mengumpulkan segala rakyat  dari Tumapel dan dari Kediri yang suka memberontak.  
Segala yang direka-reka itu berlaku atas kecerdikan Wijaya. Wijaya lalu pergi ke desa terik bercampur gaul dengan orang Madura. Tanahnya di sana tiada subur, sehingga sukar benar mencari mata penghidupan.Pada suatu ketika karena makan yang tidak cukup adalah seorang hendak memakan buah pohon Maja, yang daunnya berduri tetapi dibuangnya karena rasanya yang pahit dan sejak itu dinamainya Majapahit, demikianlah dalam kitab Pararathon.
            Pada suatu hari utusan tanah Cina mendapat penghinaan yang bessar sekali  karena mukanya dilukai oleh Raja Kertanegara. Oleh sebab itu datanglah bala tentara raja Cina yang bernama Kubilai Kan hendak membalaskannya. Pada tahun 1293 tibalah orang Cina di pulau Jawa, dan pada waktu itu negeri Majapahit sudah didirikan oleh Wijaya, namun raja Kertanegara sebagai target pembalasan sudah meninggal pada 1292.
            Adapun penyerangan tentara Kubilai Kan dikepalai oleh tiga jenderal yaitu, Che-pi, Ji-ko-mi-su dan Kau Sing (1292) masing-masing memikul pekerjaan, maksudnya ingin membalaskan penghinaan utusan Meng-ki dan hendak mengaahkan raja Kertanegara. Tiga orang hulu balang besar dikirimkan dari Tuban ke Sinngasari supaya berbicara dengan raja Kertanegara seberapa perlunya, tetapi di Majapahit bertemu dengan Wijaya. Orang Tiongkok kena muslihat, sehingga mereka tiada jadi menyerang mertua Wijaya di Singgasari, melainkan dihadapkan kepada raja Kediri, karena Jayakatuang datang menyerang negeri Majapahit. Atas pertolongan orang Cina lalu negeri yang didirikan Wijaya tidak menjadi rusak; setelah itu bala tentara Tiongkok terus ke darat kerajaan Daha-Kediri. Sungguhpun Jayakatuang menyediakan berpuluh ribu serdadu, tetapi ia kalah juga; ia boleh tinggal dalam keratin. Ananda bernama Si-la-pa-ti-si-la-tan-pu-ha lari ke gunung tetapi Kau Hsing datang mengejarnya, sehingga dapat ditangkap dan dibawa kembali ke Daha.
            Waktu itu Wijaya sudah pulang ke Majapahit. Benar Kediri-Daha sudahlah jatuh. Di kita Pararathon dikatakan bahwa orang Cina waktu itu banyak yang dibunuh oleh Wijaya dengan pertolongan orang Daha dan Majapahit sendiri, sehingga sesudah perkelahian yang banyak seluk beluknya ini, dialah yang mendapat kemenangan. Jayakatuang kemudian jatuh ke tangan Wijaya di negeri Junggaluh(Ujung Galuh), dan setelah mengarang suatu kitab bernama Kidung Wukir Polaman lalu meninggal dunia, barangkali terbunuh. Semenjak itu, hilanglah kerajaan Daha- Kediri  dan sejarah kerajaan Majapahit mulailah: Wijaya jadi rajanya dan bergelar Kertarajasa Jayawardana. Sepuluh hari sesudah orang Cina bertolak dari pulau Sumatera membawa dua orang puteri. Seorang dari padanya Dara Petak , dan digelari Indera Isywari sebagai permaisuri sang Perabu.
            Sebelum itu Kertarajasa telah kawin pula dengan dua orang ananda Kertanegara  yaitu yang sulung bernama Teribuana menjadi permaisuri, yang bungsu bernama Gayateri dan menjadi Rajapatni. Teribuana tidak memiliki putra dan karena anak Gayateri kedua-duanya perempuan, jadi putra Dara Petaklah yang akan menggantikan ayahandanya. Putera itu mula-mulanya bernama demikian. Dalam tahun 1309 raja Kertarajasa mangkat dan baginya dibuat dua makam, yang pertama secara agama Budha bertempat di Antapura dan kedua cara agama Syiwa bertempat di Simping yaitu candi Sumberjati  letaknya di sebelah selatan negeri Belitar, dan disanalah tepat patung Kertarajasa dalam tahun 1363 ditakbirkan. Patung tersebut berbentuk seperti Harihara dan memakai rautan muka raja Jawa.
            Raja Kertarajasa itu memiliki tiga orang anak, dua perempuan dan satu laki-laki. Yang paling sulung diangkat menjadi Raja Puteri kahuripan (Jiwana), dan yang bungsu menjadi Raja Daha (Kediri). Dan annda Dara Petak, putra putrid dari tanah Melayu menjadi raja di Majapahit dengan nama Jayanegara. Walaupun kedua putrid tadi mendapat gelar raja, tetapi raja yang di Majapahit  jualah yang tertinggi dan yang menyatukan kedua belah kerajaan tadi.
            Selama Jayanegara memerintah keadaan negeri tidak damai, karena semasa ayahnya masih hidup banyak orang yang suka memberontak, tetapi acap kali tiada selesai karena ayahnya kuat. Lagi pula banyak janji yang tidak dapat dipenuhi karena ayahnya meninggal. Sebab itulah ketika Jayanegara baru saja menjadi raja banyak terjadi pemberontakan.
            Di istana raja waktu itu bekerja seorang pegawai bernama Nambi, dia anak Wirajaya kawan Kertarajasa dan pangkatnya menjadi Mangkubumi. Sora seorang keluarga bapanda Jayanegara memangku pangkat demung dan Tipar menjadi temenggung. Kemudian harinya Nambi pulang mendapatkan bapanya Wiraraja tetapi dia tidak kembali lagi. Sebelum ia memberontak kepada raja Majapahit, bapanya Wiraraja meninggal. Kemudian dia ditundukkan dalam tahun 1316. Waktu itu tanah Lumajang dikalahkan dan benteng di Pajarakan dirubuhkan.
            Banyak lagi pemberontakan kecil yang tidak disebutkan. Hanyalah pada suatu hari seseorang bernama Kuti berani mengusir Jayanegara dari Majapahit sehingga raja terpaksa lari ke Badander diiringkan oleh Gajah Mada (1319). Atas kecerdikannya, Jayanegara dapat jadi raja kembali dan Gajah Mada lalu diangkat jadi patih tanah kahuripan (1321), sesudah itu berkuasa di Daha dan dalam tahun 1331 dia dijadikan Mangkubumi di Majapahit.
            Tetapi sebelum tahun itu Jayanegara telah dibunuh oleh seorang pegawai (1328), Tanca namanya , karena tertuduh perkara percintaan. Menurut kitab Pararathon ia dikuburkan di negeri Kapopongan (Serenggapura) di daerah Antawulan , tetapi letaknya sekarang belum diketahui orang. Walaupun selama Jayanegara memerintah di dalam Kerajaan selalu hiru-hara, atas tenaganya kerajaan Majapahit selalu tinggal bersatu, serta kuasanya menjadi kuat dan perantaraannya ke tanah luaran teratur sekali.
            Yang menggantikan Jayanegara ialah saudara tirinya yang memerintah di negeri Kahuripan, Jayawisnuwardani (1328-1334), yaitu atas perintah dan bantuan bunda Rajapatni. Walaupun dia pada hakekatnya  hanya ibu tiri, tetapi banyaklah jasanya sebagai orang yang member nasihat. Adiknya yang memerintah di negeri Daha dipanggil ke istana Majapahit, memangku pangkat yang tinggi dengan nama Wijayadewi (RajaDewi Maharaja).
            Adapun putri Jayawisnuwardani itu kawin dengan Kertawardana dan beranak dua orang, yang seorang bernama Ayam Wuruk beristerikan putri Isywari yang memerintah di Pajang. Dan seorang putri Daha lagi kawin dengan Wijayarajasa dan beranak seorang putra Indudewi, memerintah di Lasem.
            Pada ketika itu dalam istana, Gajah Mada yang besar kuasanya, tak heran jikalau ada yang tidak setuju kepadanya. Tetapi dia masuk orang yang berani dan bijaksana, selalu berusaha, supaya kuasa kerajaan Majapahit menyebar ke mana-mana. Bagaimana keadaan tanah Indonesia waktu itu dapat dibaca dalam kitab Tao-i-che-lio karangan Wang Ta-Yuan (1349). Tanah Jawa dikatakannya sangat banyak menghasilkan beras, lada, garam, burung kakaktua lagi masyur perkara barang emas perak dan banyak berumah yang bagus-bagus. Di semenanjung negeri yang termasyur ialah Terengganau, Pahang, Kelantan, dan Tamralingga. Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatera terbagi dua. Pertama Kieukiang(Pelembang) tempat orang diam di atas rakit dan di sana banyak candi terbuat dari tanah bata. Tanahnya subur, hawanya panas.Melayu-Minangkabau menghasilkan bunga ijas, kapur  barus, kayu lak, pinang, barang kapuk, emas,perak dan ukir-ukiran.
            Tahun 1334 Ayam Wuruk terlahir ke dunia, sehingga ada seorang putra yang laki-laki yang akan memerintah Majapahit. Ia mendapat gelar raja Jiwana(Kahuripan )  dan ditahbiskan sebagai Sri Rajasanagara. Dalam tahun 1350 Rajapatni meninggal dunia dan Ayam Wuruk di angkat menjadi raja. Sang perabu Ayam Wuruk meninggal pada 1389, yaitu seperempat abad sesudah Gajah Mada meninggalkan kerajaan.  Jadi selama menjadi Majapahit selalu  mengalami keadaan yang naik-turun. Sesudah meniggalnya Gajah Mada dan Ayam Wuruk, bunga persatuan negara lalu layu, sehingga pada ketika hancur gugur jatuh ke tanah dengan meninggalkan ingatan aneka warna dan harum suganda yang semerbak rasanya.
           
Yamin, Muhammad.1997. Gajah Mada. Jakarta: Balai Pustaka

Gajah Mada


Kedudukan Gajah Mada  Dalam Pusat Pemerintahan Negara
           
            Adapun kedudukan Gajah Mada dalam pusat pemerintahan adalah sangat istimewa. Tidak saja karena dia duduk dalam badan pemerintahan yang tersusun rapi, melainkan pula karena ia dapat menggerakkan bagian-bagian badan itu untuk kemajuan negara dan bagi kepentingan rakyat.
            Pemerintahan negara Majapahit terbagi atas bagian bawahan, bagian tengahan, bagian atasan. Bagian bawahan dijalankan oleh susunan persekutuan adat di seluruh Nusantara seperti desa di pulau Jawa. Desa yang beribu-ribu banyaknya itu menyusun diri sendiri secara adat dan mementingkan kepentingan negara, sebgai kaki tangan pemerintahan daerah, bagian tengahan. Bagian tengahan ini dilaksanakan oleh bupati dan patih, baik di darat maupun di pesisir. Ada juga raja atau ratu daerah yang memegang kekuasaan atas berates-ratus desa atau persekutuan lain. Bagian tengahan ini ialah pusat daerah dan menghubungkan pemerintahan desa dengan pemerintahan pusat. Pemerintahan pusat adalah bagian atasan dan berkedudukan di kota Majapahit. Susunannya sangat teratur dan memakai nama yang jelas.
            Di puncak pemerintahan duduk diatas singgasana seorang Perabu, yang menjunjung kedaulatan negara dan rakyat dan beristana dalam keraton di Majapahit. Zaman Gajah Mada mengenai kepala Negara :
1.      Kertarajasa (1294-1309)
2.      Jayanegara (1309-1328)
3.      Seri Teribuana (puteri, wakil kepala negara 1328-1350)
4.      Ayam Wuruk (1350-1387)
Sang Perabu menjadi ketua dalam Sidang Mahkota, yang dinamai Saptaprabu (=ratu yang tujuh), dalam  sidang ini mula-mulanya duduk 7 orang keluarga Sang Perabu dan Permaisuri. Dalam jaman Ayam Wuruk, maka anggota ditambah dua orang, sehingga sidang dihadiri oleh Sembilan orang. Sidang Mahkota mengurus urusan keraton dan keluarga maha raja, juga bersidang dalam hal perkawinan, perpindahan mahkota, dan dalam urusan negara yang mengenai kedudukan mahkota dan ketentraman negara. Di sekeliling Sang Perabu memerintah badan pemerintah yang Empat, yaitu:
1.      Maha menteri yang Tiga (manteri katrini) yaitu manteri Hino, manteri Sirikan dan manteri Halu.
2.      Lima Serangkai Majapahit (panca ring Wilwatikta) yang terdiri atas Rakryan yang Empat dan seorang Mapatih. Lima Serangkai Majapahit ialah Kemanterian Negara di bawah pimpinan Gajah Mada.
3.      Darmajaksa yang Dua, yaitu kepala agama Budha dan Syiwa, Rakawi Prapanca, pengarang yang mashur, adalah darmajasa bagian Budha (Kasogatan).
4.      Upapatti yang Tujuh (Saptapapattri) yaitu lima orang pemeget agama Syiwa (triwan, kandamuhi, manghuri, jambi, dan pamwatan) dan dua orang pegawai agama Budha. Kandangan atuha dan kandangan rare. Upapatti yang Tujuh bersidang mengurus urusan agama, upacara, candi. Perdikan desa, dan segala hal kerohanian.
Sebagian besar politik negara diurus dan dijalankan oleh Maha manteri yang Tiga dan Lima Serangkai Majapahit. Badan yang pertama tidak ke depan , melainkan menjadi jambatan antara penganjur-penganjur Sidang Kemantrian dengan Seri Mahkota. Kemantrian dikendalikan oleh patih mengkubumi Gajah Mada, 33 tahun lamanya (1331-1364).
Untuk memajukan kesejahteraan negara, maka didirikan beberapa pusat jawatan, yang mengurus urusan: bea,cukai, dan pemeliharaan jalan. Keraton, candid an gedung-gedung pemerintah untuk mementingkan urusan kesehatan, pengairan, lau lintas, pertanian, hasil bumi dan kesejahteraan umum.  Kemanterian urusan perang dan urusan perdagangan sangat dipentingkan. Selainnya Gajah Mada member pemandangan dan tanggungjawab kepada Sidang Saptaprabu dan kepada Badan Pemerintahan yang Empat, maka dia memimpin pemerintahan sebagai Patih mangkubumi. Adapun pangkat patih yang dijabatnya yaitu Patih Majapahit yang dengan sendirinya disatukan dengan jabatan Amangkubumi. Patih Majapahit ialah patih yang paling tinggi di dalam seluruh kerajaan.
Di dalam urusan peperangan Gajah Mada  duduk dalam Markas Besar Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang acap kali dikerahkannya untuk memadamkan api pemberontakan di beberapa daerah di kepulauan Nusantara dan untuk menjalankan politik persatuannya Gajah Mada mempunyai pengaruh yang  besar dalam Mahkamah Perang  yang memutuskan sengketa prajurit dan kesalahan menjalankan siasat.
Urusan dalam negeri dicampuri dan diatur oleh Gajah Mada dengan teliti. Sampai sekarang namnya diperhubungkan dengan suatu kitab Undang-undang. Walaupun kitab ini berasal dari jaman yang lebih muda tetapi mungkin isinya disusun patih Gajah Mada sendiri. Dalam jaman Gajah Mada banyak batu ditulis untuk memperingati kejadian-kejadian yang penting atau untuk bukti atau tanda. Gajah Mada meninggalkan jasa karena dialah yang menyuruh dikumpulkan beberapa surat piagam dan menyuruh membarui yang  sudah tua, sehingga aturan undang-undang tidak hilang dilupakan begitu saja.
Pengadilan disusun sedemikian rupa, sehingga memuaskan rasa keadilan bagi anak negeri. Untuk memutuskan perkara diturut aturan hukum adat seperti yang dilazimkan dalam suatu daerah, dengan mengindahkan bukti undang-undang tulisan dan menurut putusan pengadilan. Hakim mendapat kedudukan yang tinggi yang langsung di bawah Sang Perabu dan keluarganya.
Gajah Mada juga merangkap pangkat raja jaksa. Dialah yang mengawasi pelaksanaan Undang-undang raja, sedangkan sebaggai astapada, maka Gajah Mada harus menyusun suatu rencana lengkap dalam soal-soal sengketa yang penting-penting. Jadi Patih Mangkubumi Majapahit tidaklah saja menjalankan aturan undang-undang negara, tetapi juga menjaga supaya aturan itu berjalan dengan baik dan menurut segala pelanggaran. Gajah Mada mempunyai pengalaman dalam urusan negara. Dia mendapat pengaruh tidaklah oleh karena turunan darah, melainkan oleh keberanian hati, naik dari tempat yang paling bawah sampai ke puncak kekuasaan. Dari tingkat anak buah sebagai bocah desa, dia menjadi orang suruhan dan prajurit Bayangkari, kemudian menjadi bekel, yang sama pangkatnya dengan lurah desa. Atas jasanya, maka dia menjadi patih daerah dan setelah 11 tahun lamanya lalu dipilih menjadi patih Majapahit (1331). Sesudah itu dia menjadi ahli politik yang ulung, dan memimpin urusan negara berpuluh-puluh tahun lamanya. Inilah orang Indonesia yang berasal dari desa sampai kepada pusat pemerintahan bagian atas. Sebagai seorang rakyat, dia menjalankan kerakyatan untuk kepentingan negara yang digerakkan sampai memasuki segala cabang pemerintah dan isi keraton; dia melindungi seluruh kepulauan Nusantara yang berjiwa satu dalam kepalan tangan yang kuat perkasa dan maha tangkas.  

Yamin, Muhammad.1997. Gajah Mada. Jakarta: Balai Pustaka